Di Sorgakah Aku?



Source: ramliz.blogspot.com
Hal itu selalu saja terjadi. Hampir setiap hari. Walaupun kami buta, aku tidak tuli seperti Nadia. Kebisingan apapun pasti singgah di telingaku. Tuhan Maha Besar, di balik kekuranganku, kelebihan Dia anugerahkan untukku. Pendengaranku yang teramat sempurna. Seperlahan apapun, pasti telingaku  mampu menangkapnya.      

Aku bersama Nadia. Sementara ayah dan ibu berada tak jauh dari kami. Tetapi kami tak melihat keduanya. Kami hanya mendengar suara-suara mereka saling berteriak. Lalu suara itu menghilang. Tak terdengar lagi.




Terdengar pintu mobil ditutup dengan keras. Kebiasaan Ibu kalau sedang marah. Disusul deru mesin. Dalam sekejab deru itu seperti ditelan bumi. Ah, lagi-lagi ibu pergi meninggalkan kami. Semakin erat Nadia kupeluk. Aku sudah hafal apa yang akan dilakukan oleh ayah. Kami pasti akan menjadi lahan pelampiasan amarah Ayah yang tidak bisa ia tuntaskan kepada Ibu.

Kasian Nadia, dia seolah mengerti arti pertengkaran antara Ayah dan Ibu. Airmatanya selalu mengalir.  Pada setiap tekanan suara mereka, kedua lenganku bertambah erat memeluk Nadia. Tak sadar aku menekan kepala Nadia ke dadaku. Kucium keningnya. Allah memberikan kepada Nadia sebuah kepekaan perasaan yang luar biasa. Nadia lebih arif dan sangat mudah memaafkan. Siapa saja. Apalagi kalau sudah menyangkut Ayah dan Ibu. Pertengkaran demi pertengkaran yang tidak pernah didengarnya, Nadia mampu meredam dan menyimpannya di relung hatinya yang paling dalam Hanya airmata Nadia yang berbicara. 

Malangnya nasib kami. Kalau pada setiap pertengkaran selalu saja bersumber pada kami, kenapa tidak mereka serahkan saja kami ke sebuah Panti Asuhan. Toh banyak Panti Asuhan yang tidak memungut bayaran. Alias gratis. Anggap saja Ayah termasuk orang yang tidak mampu. Kenapa harus gengsi? Karena gengsi akhirnya kami yang harus menderita bathin.  Atau bekap saja kami dengan bantal ketika kami masih merah. Tentunya kami lucu sekali waktu itu  Mereka yang melihat kami melontarkan pujian yang sama. Kami bayi-bayi montok, merah dan berwajah imut. Namun pujian itu diakhiri rasa iba: “Kasian ya, matanya..”

 
Source: bangka.tribunnews.com


Hidungku mencium sesuatu yang tidak biasa. Hm, bau apa ini? Bensin? Kemudian terdengar suara percikan di sekelilingku. .

“Ayaaah..”

Tidak ada jawaban. Aku merasakan sepasang lengan merengkuh kami ke pelukannya. Semakin erat. Semakin ketat.

“Apa yang Ayah lakukan? Membakar rumah? Ayah sudah gila!  Aku ingin bersama Ibu!” 

Seolah kulihat kobaran api yang akan  melahap tubuh kami. Aku semakin melemah.

“Justru Ayah melakukannya untuk mengakhiri penderitaan Ibumu. Maafkan Ayah. Mulai sekarang tidak ada lagi teriakan-teriakan yang akan kalian dengar. Kalian aman. Kalian akan tenang, bersama ayah. Di sisiNya.”

Sayup suara itu kudengar. Di sorgakah aku?


Words: 399

Comments

  1. Sedih deh Bun. Penderitaan akibat komunikasi tersumbat antar orang tua dan yang menanggung adalah anak-anak mereka :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mudah-mudahan tidak terjadi pada PASUTRI di KEB, hehe.. Makasih evi sudah mampir ke blog bunda.

      Delete
  2. Bunda..merinding aku jadinya Bun...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maap fitri anita kalo bikin fitri merinding. Gak baca ayaty kursi dulu ya sebelum baca, hehe...becanda. Makasih kunjungannya.

      Delete
  3. Nah, misteri "ayah ibu tak jauh", "kami tak bisa melihat mereka" dan "hanya bisa mendengar" terpecahkan di fiksi Bunda :))) Nice Bundaaaa.. Seandainya saja plot-nya lebih diatur, jadi fakta bahwa aku tunarungu itu ditaruh di agak akhir, bisa jadi dobel twist loh ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih pujiannya, Mak Carra. Tapi wong si AKU gak tunarunggu tuh, cuma tunanetra je. Piye yo supaya bisa double twist. Makasih kunjungannya.

      Delete
  4. Replies
    1. Kiky, itu cuma fiksi koq, flash lagi. Makasih ya kunjungannya.

      Delete
  5. ngeriiiii...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang ngeri -- sebuah akhir yang sangat tragis. Sebuah hukuman dari Allah bagi si Ibu karena pertengkarannya disebabkan kedua anak malang itu, anak yang seharusnya dijaga dan disayangi sebagai titipan Akkag SWT. Mkasih kunjungan Mas Jampang (?)

      Delete
  6. Bundaaa, seneng banget Bunda ikutan main FF lagi. :)))
    Makin ke sini makin jeli aja idenya, Bun. :)))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mbak Istiadzaaaaah, makasih pujiannya. Ini kebetulan pulang ke Pamulang, bisa online bentar banget. Makasih udah mampir. Salam manis teramat manis dari INA.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ada Apa Dengan Panggilan Bunda?

Khasiat Serai Merah

Eratnya Ikatan Kekeluargaan Itu