Aku Seperti Anak Kandung Ibu Mertua.
Kami, aku dan suamiku adalah pasangan yang tidak pernah merasakan indahnya ataupun galaunya menghadapi Ibu Mertua, karena kami senasib dan sejodoh, hehe...sama-sama tidak memiliki Ibu ketika usia kami masih belia. Jadi keluh kesah atau kesulitan yang dijalani ketika menghadapi sikap dan sifat Ibu Mertua, tak pernah kami rasakan. Kami pun sudah tidak memiliki Nenek lagi ketika menikah.
Tapi dengan posisi seperti yang aku sebutkan di atas, aku tidak akan mundur, tetap mengikuti Lomba Menulis untuk memperingati Hari Kartini 21 April 2015 (K3BKartinian) bertema Ibu Mertua. Bukankah ada pribahasa yang berbunyi: Tak Satu Jalan ke Roma. Jadi inilah partisipasiku untuk K3BKartinian.
Pagi ini aku ajak si Mbak yang sudah bekerja 7 (tujuh) tahun dengan anakku untuk sekedar berbincang tentang Ibu Mertua. Berikut penuturan singkat buah obrolannya yang lugas dan lugu. Aku telah mengolahnya menjadi sebuah tulisan untuk event online "posting serentak" dalam rangka K3BKartinian:
"Saya menyayangi Ibu kandung saya, tapi bertambah menyayanginya setelah saya menikah dan melahirkan cucu pertamanya. Begitu besar rasa cinta saya kepada Ibu. Saya memiliki jodoh seorang suami yang gagah, berperawakan tinggi, kekar. Maklum keseharian kami pada tahun-tahun pertama hidup di Desa Cisoka, Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majalengka, sebagai petani, bekerja keras bersimbah peluh bukan lagi merupakan hal yang meresahkan atau harus dihindari. Kami mencintai keseharian kami.
Sejak menikah, Ibu Mertua meminta kami untuk tinggal di rumahnya. Atas desakan suami, saya pun menyetujuinya, walaupun hati saya menjadi dag-dig-dug di hari-hari pertama tinggal bersama di bawah satu atap dengan Ibu Mertua. Banyak cerita yang sumbang tentang ketulusan sayang dan wajah manis palsu yang diperlihatkan oleh seorang Ibu Mertua. Namun dengan cepat saya tepis perasaan itu. Saya membayangkan, Ibu Mertua saya ini pun adalah seorang perempuan tegar seperti Ibu saya. Ibu Mertua pun melahirkan seorang bayi laki-laki, kemudian telah menjadi sosok laki-laki gagah yang kini menjadi suami saya -- dengan merasakan sakit yang sama, dihadapkan pada ketakutan yang sama, melawan kekhawatiran yang serupa tentang si jabang bayi yang bakal lahir. Akankah bayi yang dinanti lahir dengan sehat, sempurna dan tanpa cacat?Tak ada alasan bagi saya untuk tidak menyayanginya.
Rasa sayang saya kepada Ibu Mertua kemudian jadi bertambah pekat dan berkembang menjadi sebuah perasaan yang sama dengan perasaan saya kepada Ibu kandung. Bersalahkah saya memiliki perasaan seperti itu? Apalagi mengingat Ibu kandung saya tinggal di sebuah desa yang jauh dari tempat tinggal Ibu Mertua. Jadi satu-satunya figur Ibu adalah Ibu Mertua. Saya sayang padanya. Hal ini menguatkan ikatan kasih seperti ibu dan anak, ketika satu persatu anak-anak perempuan Ibu Mertua menikah dan ikut dengan suami., kecuali dua anak perempuan yang masih lajang tinggal bersama kami. Saya sering mengurut dada melihat sikap anak-anak perempuan beliau -- apabila dibangunkan tengah malam -- karena Ibu Mertua merasakan sakit atau pegal-pegal badannya, meminta tolong untuk membalurkan obat atau memijitinya, selalu bersungut-sungut. Bukan kesalahan Ibu Mertua kalau akhirnya beliau memilih saya untuk membantunya melarutkan rasa sakit dari seluruh tubuhnya dengan baluran minyak 'gandapura' -- minyak yang ampuh untuk menghangatkan badan dan mengusir segala rasa pegal linu di tubuh beliau. Sampai sekarang minyak gandapura ini masih ada dan saya seringkali menggunakannya untuk membalur tubuh saya yang pegal-pegal. (Note: mengucapkan kalimat ini, si Mbak tersenyum-senyum...)
Saya bisa merasakan Ibu Mertua menyayangi saja seperti juga saya menyayanginya. Ibu Mertua lebih memilih membangunkan saya apabila sedang tidak 'enak badan' -- tak peduli tengah malam ketimbang membangunkan anak-anak kandungnya. Ibu Mertua mungkin sudah bosan merasakan, setiap kali meminta tolong, anaknya menghentakkan kaki. Sedangkan saya, dengan ikhlas segera membantunya. Alasan saya hanya satu: beliau adalah Ibu saya, betapa pun ada embel-embel kata Mertua di belakang sebutan itu. Ibu Mertua semakin sayang pada saya. Begitu juga Suami saya -- dari sikap dan sorot matanya memperlihatkan dan memancarkan sinar bersyukur dan bahagia. Hidup ini alangkah indahnya, kalau kita bisa memiliki sifat ikhlas. Saya sudah dianggap anak kandung Ibu Mertua.
Saya tinggal di rumah Ibu Mertua mulai dari menikah, sampai punya anak lima. Suka-duka bersama membuat saya tegar ditinggalkan suami ke Jakarta mencari nafkah. Kami menyiasati penghasilan yang didapat dari jerih payah suami dengan sebaik-baiknya. Kami tidak perlu membeli sayur-sayuran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Begitupun ikan, tinggal ambil saja di balongan (kolam khusus untuk memelihara ikan). Bersama Ibu Mertua terasa tenang hidup jauh dari suami. Dalam diri Ibu Mertua terpancar wajah suami dan ini membuat hati saya selalu terbebas dari rindu yang mencekam.Suami saya pulang ke kampung dengan membawa nafkah yang dikaisnya di Jakarta setiap dua bulan sekali. Rezeki yang halal kami nikmati bersama.
Barulah, ketika anak ke-lima saya berumur 7 tahun, kami meninggalkan Ibu Mertua dan mencoba nasib kami untuk bisa mandiri di Jakarta, jelasnya sebuah perkampungan di Ciputat. Alhamdulillah, kami selalu mengingat Ibu Mertua dan tak lupa mengirimkan sedikit rezeki yang kami dapat. Sekarang anak-anak saya sudah ada yang bekerja, satu lulus sekolah SMK, satu lagi, perempuan kelas 2 SMP. Saya sendiri bekerja di rumah Ayman. Mamanya Ayman dan Bunda adalah orang-orang yang baik hati, penuh pengertian, sehingga saya betah sekali bekerja di rumah ini. (Aku cuma tersenyum mendengar pujiannya.)
Dua tahun yang lalu saya pulang kampung, karena Ibu Mertua sakit keras, dan, katanya selalu menyebut-nyebut nama saya. Dalam waktu satu minggu di kampung, saya merawatnya. Beliau selalu ingin tidur di pangkuan saya, hingga terlelap. Barulah setelah beliau terlihat tidur nyenyak, suami saya memindahkannya ke tempat tidur.
Malam itu, dua tahun yang lalu, Ibu Mertua meninggal dunia. Untunglah saya tidak segera pulang ke Jakarta. Lagi, beliau minta saya memangku kepalanya. Terasa sampai kesemutan paha saya, menahan untuk tidak menggerakkannya. Khawatir, gerakan yang sepelan apapun akan membangunkannya dari tidur. Namun, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Malam itu Ibu Mertua menghembuskan napas terakhirnya ketika saya memangku kepalanya. Hanya sekali saja kedua matanya terbuka dan memandang saya. Senyum itu yang tidak dapat saya lupakan. Senyum seolah ingin mengatakan terima kasih pada saya. Alhamdulillah, Allah sudah memberikan sebuah keikhlasan yang bertahta di dada saya."
Itulah sekelumit kisah tentang Ibu Mertua dari Mbak yang bekerja di rumah anakku. Mbak yang setia, jujur dan rajin. Mbak yang tak pernah mengeluh. Mbak yang tak perlu lagi diberitahu tentang menu di rumah. Dan si Mbak yang sudah hapal dengan baik menu kesukaan penghuni yang ada di rumah anakku. Alhamdulillah, semoga Mbak ini kelak akan menjadi Ibu Mertua bagi calon istri dan suami anak-anaknya, sebaik dan seterbuka Ibu Mertua yang pernah dimilikinya. Aamiin.
Tapi dengan posisi seperti yang aku sebutkan di atas, aku tidak akan mundur, tetap mengikuti Lomba Menulis untuk memperingati Hari Kartini 21 April 2015 (K3BKartinian) bertema Ibu Mertua. Bukankah ada pribahasa yang berbunyi: Tak Satu Jalan ke Roma. Jadi inilah partisipasiku untuk K3BKartinian.
Pagi ini aku ajak si Mbak yang sudah bekerja 7 (tujuh) tahun dengan anakku untuk sekedar berbincang tentang Ibu Mertua. Berikut penuturan singkat buah obrolannya yang lugas dan lugu. Aku telah mengolahnya menjadi sebuah tulisan untuk event online "posting serentak" dalam rangka K3BKartinian:
Ngobrol santai, Selasa, 20 April 2015 |
"Saya menyayangi Ibu kandung saya, tapi bertambah menyayanginya setelah saya menikah dan melahirkan cucu pertamanya. Begitu besar rasa cinta saya kepada Ibu. Saya memiliki jodoh seorang suami yang gagah, berperawakan tinggi, kekar. Maklum keseharian kami pada tahun-tahun pertama hidup di Desa Cisoka, Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majalengka, sebagai petani, bekerja keras bersimbah peluh bukan lagi merupakan hal yang meresahkan atau harus dihindari. Kami mencintai keseharian kami.
Sejak menikah, Ibu Mertua meminta kami untuk tinggal di rumahnya. Atas desakan suami, saya pun menyetujuinya, walaupun hati saya menjadi dag-dig-dug di hari-hari pertama tinggal bersama di bawah satu atap dengan Ibu Mertua. Banyak cerita yang sumbang tentang ketulusan sayang dan wajah manis palsu yang diperlihatkan oleh seorang Ibu Mertua. Namun dengan cepat saya tepis perasaan itu. Saya membayangkan, Ibu Mertua saya ini pun adalah seorang perempuan tegar seperti Ibu saya. Ibu Mertua pun melahirkan seorang bayi laki-laki, kemudian telah menjadi sosok laki-laki gagah yang kini menjadi suami saya -- dengan merasakan sakit yang sama, dihadapkan pada ketakutan yang sama, melawan kekhawatiran yang serupa tentang si jabang bayi yang bakal lahir. Akankah bayi yang dinanti lahir dengan sehat, sempurna dan tanpa cacat?Tak ada alasan bagi saya untuk tidak menyayanginya.
Rasa sayang saya kepada Ibu Mertua kemudian jadi bertambah pekat dan berkembang menjadi sebuah perasaan yang sama dengan perasaan saya kepada Ibu kandung. Bersalahkah saya memiliki perasaan seperti itu? Apalagi mengingat Ibu kandung saya tinggal di sebuah desa yang jauh dari tempat tinggal Ibu Mertua. Jadi satu-satunya figur Ibu adalah Ibu Mertua. Saya sayang padanya. Hal ini menguatkan ikatan kasih seperti ibu dan anak, ketika satu persatu anak-anak perempuan Ibu Mertua menikah dan ikut dengan suami., kecuali dua anak perempuan yang masih lajang tinggal bersama kami. Saya sering mengurut dada melihat sikap anak-anak perempuan beliau -- apabila dibangunkan tengah malam -- karena Ibu Mertua merasakan sakit atau pegal-pegal badannya, meminta tolong untuk membalurkan obat atau memijitinya, selalu bersungut-sungut. Bukan kesalahan Ibu Mertua kalau akhirnya beliau memilih saya untuk membantunya melarutkan rasa sakit dari seluruh tubuhnya dengan baluran minyak 'gandapura' -- minyak yang ampuh untuk menghangatkan badan dan mengusir segala rasa pegal linu di tubuh beliau. Sampai sekarang minyak gandapura ini masih ada dan saya seringkali menggunakannya untuk membalur tubuh saya yang pegal-pegal. (Note: mengucapkan kalimat ini, si Mbak tersenyum-senyum...)
Saya bisa merasakan Ibu Mertua menyayangi saja seperti juga saya menyayanginya. Ibu Mertua lebih memilih membangunkan saya apabila sedang tidak 'enak badan' -- tak peduli tengah malam ketimbang membangunkan anak-anak kandungnya. Ibu Mertua mungkin sudah bosan merasakan, setiap kali meminta tolong, anaknya menghentakkan kaki. Sedangkan saya, dengan ikhlas segera membantunya. Alasan saya hanya satu: beliau adalah Ibu saya, betapa pun ada embel-embel kata Mertua di belakang sebutan itu. Ibu Mertua semakin sayang pada saya. Begitu juga Suami saya -- dari sikap dan sorot matanya memperlihatkan dan memancarkan sinar bersyukur dan bahagia. Hidup ini alangkah indahnya, kalau kita bisa memiliki sifat ikhlas. Saya sudah dianggap anak kandung Ibu Mertua.
Saya tinggal di rumah Ibu Mertua mulai dari menikah, sampai punya anak lima. Suka-duka bersama membuat saya tegar ditinggalkan suami ke Jakarta mencari nafkah. Kami menyiasati penghasilan yang didapat dari jerih payah suami dengan sebaik-baiknya. Kami tidak perlu membeli sayur-sayuran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Begitupun ikan, tinggal ambil saja di balongan (kolam khusus untuk memelihara ikan). Bersama Ibu Mertua terasa tenang hidup jauh dari suami. Dalam diri Ibu Mertua terpancar wajah suami dan ini membuat hati saya selalu terbebas dari rindu yang mencekam.Suami saya pulang ke kampung dengan membawa nafkah yang dikaisnya di Jakarta setiap dua bulan sekali. Rezeki yang halal kami nikmati bersama.
Barulah, ketika anak ke-lima saya berumur 7 tahun, kami meninggalkan Ibu Mertua dan mencoba nasib kami untuk bisa mandiri di Jakarta, jelasnya sebuah perkampungan di Ciputat. Alhamdulillah, kami selalu mengingat Ibu Mertua dan tak lupa mengirimkan sedikit rezeki yang kami dapat. Sekarang anak-anak saya sudah ada yang bekerja, satu lulus sekolah SMK, satu lagi, perempuan kelas 2 SMP. Saya sendiri bekerja di rumah Ayman. Mamanya Ayman dan Bunda adalah orang-orang yang baik hati, penuh pengertian, sehingga saya betah sekali bekerja di rumah ini. (Aku cuma tersenyum mendengar pujiannya.)
Dua tahun yang lalu saya pulang kampung, karena Ibu Mertua sakit keras, dan, katanya selalu menyebut-nyebut nama saya. Dalam waktu satu minggu di kampung, saya merawatnya. Beliau selalu ingin tidur di pangkuan saya, hingga terlelap. Barulah setelah beliau terlihat tidur nyenyak, suami saya memindahkannya ke tempat tidur.
Malam itu, dua tahun yang lalu, Ibu Mertua meninggal dunia. Untunglah saya tidak segera pulang ke Jakarta. Lagi, beliau minta saya memangku kepalanya. Terasa sampai kesemutan paha saya, menahan untuk tidak menggerakkannya. Khawatir, gerakan yang sepelan apapun akan membangunkannya dari tidur. Namun, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Malam itu Ibu Mertua menghembuskan napas terakhirnya ketika saya memangku kepalanya. Hanya sekali saja kedua matanya terbuka dan memandang saya. Senyum itu yang tidak dapat saya lupakan. Senyum seolah ingin mengatakan terima kasih pada saya. Alhamdulillah, Allah sudah memberikan sebuah keikhlasan yang bertahta di dada saya."
Itulah sekelumit kisah tentang Ibu Mertua dari Mbak yang bekerja di rumah anakku. Mbak yang setia, jujur dan rajin. Mbak yang tak pernah mengeluh. Mbak yang tak perlu lagi diberitahu tentang menu di rumah. Dan si Mbak yang sudah hapal dengan baik menu kesukaan penghuni yang ada di rumah anakku. Alhamdulillah, semoga Mbak ini kelak akan menjadi Ibu Mertua bagi calon istri dan suami anak-anaknya, sebaik dan seterbuka Ibu Mertua yang pernah dimilikinya. Aamiin.
selamat hari Kartini ya, salam untuk mbak yang bekerja dirumahnya
BalasHapusTerima kasih Anak Nelayan, salamnya akan disampaikan. Terima kasih juga untuk kunjungannya ke blog Bunda.
Hapusserunya menyimak artikel tentang mama mertua tercinta yang selalu terkenang di hati bunda Yati :)
BalasHapusIya, Christanty, begitu dekat hubungan antar Menantu dan Mertua. Sayangnya Bunda gak mengalami hal seperti itu, hiks, hiks...
Hapussaya terharu,,, pingin punya kisah juga seperti mbak ini, yang sangat akur dengan ibu mertuanya, ibu mertuaku baik,, hanya sedkit ya,,, hmmm,,, ceriwit,, hehe,,, semoga saya juga punya hati ikhlas kayak mbaknya,, hihihi
BalasHapusbundagawul, cerewet untuk kebaikan, kan, gapapa. Pura-pura-lah ikhlas, maka ikhlas yang sebenarnya akan terbentuk tanpa kita sadari. Trust me, my dear. Terima kasih juga kunjungan bunagawul ke blog Bunda ini. (Mbak kemudaan bangeeet, hehe...)
HapusMasya Allah, terharu sekali membacanya.. saya juga tidak punya ibu mertua, tapi saya berharap bisa menjadi mertua yang baik.. hehe#padahal anaknya masih kecil-kecil..
BalasHapusEl Nurien, sementara menunggu dan merawat serta memperhatikan tumbuh kembangnya anak menjadi dewasa, berlatih melihat dan menyimak tentang Ibu Mertua, hahaha... Makasih ya, kunjungan El Nurien ke blog. Bunda.
HapusIbu mertua dan si Mbak, keduanya sama2 hebat :)
BalasHapusMakasih pujian buat mereka, Vhoy Syazwana. Bahkan si Mbak ini menganggap Bunda sudah seperti Ibunya, curhat, berkeluh kesah, tanpa tedeng aling-aling. Terima kasih ya Vhoy sudah berkunjung.
Hapusikut terharu bacanya bunda
BalasHapusTerharu akan keikhlasan si Mbak, ya? Kesehariannya si Mbak di rumah anak Bunda juga sangat baik lho. Makasih kunjungan Lidya ke blog Bunda.
Hapuscerita terakhirnya bikin merinding Bunda, saya terharu. Sungguh menantu yang baik ya, Mbak nya...
BalasHapusAamiin, semoga semua perempuan yang jadi menantu akan bersikap sama seperti si Mbak, ya. Terima kasih kunjungan Santi Dewi ke blog Bunda.
HapusTerimakasih bunda untuk partisipasinya, cerita yang menarik!
BalasHapusTerimakasih bunda untuk partisipasinya, cerita yang menarik!
BalasHapus